Jakarta, BSSN.go.id – Kolaborasi quadruple helix untuk meningkatkan budaya keamanan siber merupakan pondasi keberhasilan dalam dunia digital saat ini.
Hal itu penting dilakukan mengingat perkembangan teknologi yang makin canggih, tentu diiringi juga dengan tingkat risiko dan ancaman penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin tinggi dan kompleks.
”Kami (BSSN, red) menilai kolaborasi quadruple helix antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat dapat digalakkan dengan baik untuk mengantisipasi ancaman siber yang semakin meningkat dan kompleks di Indonesia,” ungkap Juru Bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Republik Indonesia, Ariandi Putra saat memberikan keynote speech di acara Hacktrace Cyberwolves Con-Latest Threat Intelligence Brief di Hotel Westin, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Selain itu, kata Ariandi, dengan kolaborasi quadruple helix antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat juga bisa menjadi salah satu titik pijak Indonesia dalam mencapai Global Cybersecurity Indeks (GCI) yang baik ke depannya.
“Semoga tahun ini meningkat GCI yang diperoleh Indonesia, dari sebelumnya peringkat 24 dari 100 lebih negara,” ujar Ariandi.
Ariandi juga mengatakan, kolaborasi juga dilakukan BSSN dengan para pelaku usaha seperti Spentera contohnya, yang concern terhadap status keamanan siber di Indonesia. Sehingga dapat melengkapi landscape keamanan siber yang dirilis oleh Direktorat Operasi Keamanan Siber BSSN.
Senada dengan hal tersebut, Direktur Operasi Keamanan Siber BSSN Andi Yusuf mengungkap bahwa tahun 2003 lalu memberikan banyak pembelajaran dan menyumbang progres yang baik untuk keamanan siber Indonesia.
“Terdeteksinya berbagai ancaman seperti malware (ransomware), Advance Persistent Threat, Social Engineering, Web Defacement, dan Data Breach sangat penting bagi kami untuk merefleksi diri untuk memperkuat keamanan siber pada Infrastruktur Informasi Vital,” ujarnya.
Sehingga, menurut Andi, rekomendasi strategis yang perlu dibangun harus dari berbagai arah. Termasuk mencakup pendekatan yang melibatkan aspek manusia, proses, dan teknologi.
“Karena itu, kami mengajak kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk sektor publik dan swasta, dalam membentuk kebijakan dan implementasi yang kuat, inovatif, responsif, dan adaptif,” ujarnya.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin berkembang, ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama menyamakan persepsi dalam melihat urgensi dari keamanan siber. Untuk meningkatkan budaya keamanan siber demi melindungi kepentingan bersama.
Turut hadir dalam kegiatan Hacktrace Cyberwolves Con-Latest Threat Intelligence Brief, Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia BSSN Rory Ojak Halomoan Sitorus, dan Direksi PT Spentera diantaranya Direktur Cyber Intelligence Royke Tobing, Direktur Operasional Eksternal Marie Muhammad, dan Direktur Operational Internal Thomas Gregory.